1. Tongkonan
Rumah Tongkonan |
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan
kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata
"tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang
berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku
Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena
Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita
rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika
leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar
upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan
layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga
yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal
sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum
bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang
mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
2.
Upacara Pemakaman
Upacara Pemakaman |
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar.
Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi
biaya pemakaman. Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba
tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya(dunia
arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa
helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain
dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau.
Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak
upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada
keluarga almarhum.
Ada tiga
cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu
berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa
bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
3.
Musik dan Tarian
Tari Ma'randing |
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut
dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua
pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji
keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian
dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai
ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika
jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara
pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan
untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk
tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di
masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan
untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan
ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa
tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh
pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh
perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah
tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun
sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika
pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik
tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling
berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,
ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak
berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik
lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan
pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar